Ad Code

Responsive Advertisement

Indonesia dalam Perspektif Geopolitik Global

“Tatkala Iblis mencuri dengar berita langit, maka itulah realita peperangan intelijen sejak dahulu kala, kenapa? Melalui info (mencuri dengar) tersebut, digunakannya sebagai bahan untuk ‘menggoda iman’ dan kehidupan manusia agar selaras dengan (skema) keinginan Iblis, karena ia lebih memahami situasi kedepan. Dari titik inilah muncul istilah tersirat maupun tersurat di dunia perpolitikan” 

Dunia (geo) politik modern kini pun ada istilah hal-hal tersirat dan tersurat. Hal tersurat misalnya, lazim akan terkait pengelabuan (deception) publik. Atau semacam iming-iming, pencitraan, menjual angan-angan, dll melalui gebyar media massa dan modus-modus lainnya. Deception itulah buah suatu propaganda. Intinya: “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, kebohongan yang berulang akan dianggap publik sebagai kebenaran” (Joshep Gobbelz).

Selanjutnya diterangkan, hal-hal tersurat merupakan ranah masyarakat awam atau orang kebanyakan —- sementara hal tersirat lazimnya koridor para mentor politik, ranah analis non mainstream, dalang serta pemilik hajatan, dan sebagainya. Jika Bush Jr dulu menyatakan bahwa di negara X terdapat pelanggaran HAM, atau ada pemimpin tirani, tidak demokratis, dll itu artinya —- di negara tersebut niscaya tersimpan potensi besar atas minyak, emas dan gas bumi. Itulah hal tersirat dari apa yang tersurat. Rumusnya sebenarnya sangat sederhana: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil” (Deep Stoat).

Terkait hal tersebut, bahwa apa yang tengah terjadi sekarang —- yakni geopolitical shift (pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik disinyalir merupakan perulangan peristiwa sesuai prolog pada awal catatan ini akibat si Iblis mampu mencuri dengar berita langit. History repeat itself. Dan sudah barang tentu, informasi yang dicuri oleh “Iblis” kini berupa kabar dari ‘langit geopolitik’ di Asia Pasifik.

Tak boleh dielak, bahwa dunia (awam) sepertinya cuma memahami data-data tersurat. Pada ranah geopolitik contohnya, memang ditengarai ada sembilan chokepoints strategis dimana setiap harinya melintas kapal-kapal tanker membawa jutaan barel minyak. Adapun titik-titik strategis tersebut antara lain adalah Selat Hormuz yang dilintasi 17 juta barel, Selat Malaka: 15 juta barel, Terusan Suez: 4,5 juta barel, Bab el Mandeb: 3,3 juta barel, dan lain-lain.

Data tersebut belum termasuk jalur pipa di Ukraina, atau geopolitical pipeline of Syria yang lintas (antar) negara bahkan membelah benua. Mungkin inilah hal tersirat sesuai adagium dunia politik sebagaimana isyarat Pepe Escobar, “Politik praktis itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat” (2007). Pada gilirannya, manakala Syria, atau Ukraina, dll dijadikan ajang proxy war (medan pertempuran) bagi kepentingan para adidaya semata-mata karena faktor what lies beneath the surface (apa yang terkandung dibawah permukaan), tetapi dalam peropinian global, tak sedikit kalangan awam menganggap konflik di kedua negara sebagai konflik sektarian, atau konflik antarfaksi di internal negeri. Sungguh menyedihkan, namun itulah kecanggihan deception, produk dan fabrikasi dari sebuah industri propaganda. 

Jujur harus diakui, bahwa epicentrum Abad Atlantik ada pada chokepoints di atas sebab hampir semua titik strategis dalam cengkraman Armada Amerika baik Armada Ke 3, Ke 5, Ke 6, Armada Ke 7, dan lainnya, maka pertanyaannya sekarang, dimana epicentrum Abad Asia Pasifik sebagai pertimbangan utama bergesernya geopolitik global?

Potensi Ekonomi dan Demografi

Saya berasumsi, epicentrum Abad Asia Pasifik itu ada (being), nyata (reality) dan berada (existence) di Indonesia, kenapa? Inilah data-data yang berserak di dunia maya dimana selama ini tersembunyikan atau barangkali juga “disembunyikan” oleh para adidaya agar tidak muncul space consciouness atau istilah Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit dinamai ‘kesadaran geopolitik’ pada segenap bangsa serta tumpah darah Indonesia.

Ini sekilas data-data per harinya:

Pertama, ada sekitar 40-an juta ton cargo melintas, dan 21-an juta barel melewati perairan Indonesia (bandingkan dengan Selat Hormuz yang hanya 17 juta, atau Selat Malaka 15 juta barel, dll) dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, dimana dekade 2030-an diprediksi akan meningkat dua kali lipat;

Kedua, selain hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, ia pun dapat membahayakan pemanasan global (karena kontribusi 2 % perusak hutan), juga berlimpahnya energi alternatif semacam panas bumi, hydro, solar, angin dan biduel dari tumbuhan (jarak, sagu, tebu, ubi kayu, dll) termasuk ethanol, alkohol dsb hampir semua ada serta berlimpah di Indonesia;

Ketiga, fakta yang tak boleh dipungkiri bahwa Indonesia itu penghasil lada putih nomor 1 (satu) di dunia, produsen kayu lapis terbesar, penghasil puli dari buah pala terbaik di dunia, LNG terbesar, dan juga penghasil lada hitam, karet alam, minyak sawit (CPO), timah —- untuk tiga komoditas terakhir ini terbesar kedua di dunia;

Keempat, fakta-fakta lainnya bahwa ia merupakan negara penghasil tembaga nomor tiga di dunia, penghasil kopi dan karet sintetik keempat, selain penduduknya juga menempati urutan keempat terbesar di muka bumi;

Kelima, selain itu, sebagai negara agraris juga memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, saat ini Indonesia dinilai sebagai penghasil ikan nomor enam di dunia, termasuk teh, biji-bijian, dan lain-lain;

Keenam, untuk hasil tambang jangan ditanya lagi, sebagai negeri ring of fire(lingkaran sabuk api) maka berbagai jenis dan aneka tambang pasti berserak di negeri ini, seperti natural gas, emas, batu bara —- ketiganya nomor enam di dunia. Indonesia juga penghasil minyak bumi nomor sebelas di dunia (data minyak ini perlu cross check kembali), kemudian juga penghasil aspal, bauxit, nikel, granit, perak, uranium, marmer dan mineral ikutannya serta pasir besi dengan kualitas terbaik di dunia;

Ketujuh, selain potensi pariwisata yang besar baik berupa pemandangan alam, beberapa pantainya mempunyai ombak terbaik di dunia untuk surfing, kemudian adat, budaya dan banyaknya situs serta artefak kejayaan masa lalu masih terawat baik, bahkan temuan terbaru perihal artefak kejayaaan nusantara (Piramida Gunung Padang) bakal mengubah dunia, bahkan mungkin dapat merobek buku sejarah sejak halaman pertama —- juga tak lupa ialah local wisdom bangsa ini berupa keramah-tamahan warga lokal terhadap pendatang (tourist) kendati nilai-nilai tersebut kini telah mulai luntur karena faktor lingkungan yang berubah serta tak terbendung.

Potensi dan Dahsyatnya Geoposisi Silang

Faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia adalah kawasan yang mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik pelayaran lintas negara bahkan antarbenua. Betapa 80% perdagangan dunia melintasi perairan dan selat-selat di Indonesia. Menurut Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, bahwa 50% yang melintas di perairan Indonesia adalah tanker-tanker minyak dunia. Data di Lemhanas RI, “Hampir 50 % perdagangan laut komersial dunia dilakukan melalui perairan Indonesia dan perairan regional kawasan ini. Hampir dipastikan bahwa negara-negara lain sebagai pengguna jalur strategis ini memiliki arti yang sangat vital dan strategis bagi perdagangan internasional,” ungkap Gubernur Lemhanas, Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji dalam seminar nasional yang digelar GMNI di Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Sabtu (3/5/2014).

Dalam perspektif kolonialisme global, bahwa takdir geopolitik yang menggiurkan (potensi ekonomi, demografi dan geoposisi silang), niscaya akan menempatkan Indonesia pada posisi: (1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut (Bung Karno, 1955). Inilah yang tampaknya tengah berlangsung masif dan sistematis. 

Secara geostrategi, kedahsyatan geoposisi silang yang jarang dimiliki negara manapun meniscayakan Indonesia berdaya tawar tinggi di panggung (politik) global. Ia mampu merajut hubungan dengan berbagai negara di antara dua benua dan samudera. Dan yang terpenting, Indonesia mampu memegang posisi kunci di antara negara-negara tersebut di satu sisi, namun pada sisi lain, bisa ‘diplokoto’ (diperkuda) apabila para elitnya abai geopolitik — mungkin hanya dijadikan buffer zone (wilayah penyangga), atau jangan-jangan cuma diletak sebagai proxy war (lapangan tempur) bagi kepentingan negara-negara lain. Silahkan pilih mana atau mau jadi apa, tergantung geostrategi dan policypemerintah serta bagaimana anak bangsa ini menyikapi secara cerdas takdir geopolitik tersebut.

Tak dapat disangkal, keberadaan di pusaran serta lintasan antara dua samudera di jalur pelayaran (serta penerbangan) internasional, memastikan pelabuhan-pelabuhannya baik pelabuhan laut maupun bandar udaranya menjadi persinggahan atau titik transit strategis bagi hilir-mudik pelayaran dan penerbangan jenis apapun di dunia. Inilah urgensi simpul-simpul transportasi pada (geo) posisi silang. Data menggambarkan, bahwa Indonesia memiliki 39 selat, dimana 4 selatnya termasuk chokepoints shipping dari sembilan chokepoints dunia sebagaimana diulas di atas.

Seandainya Indonesia sedikit usil, lalu menutup keempat selatnya bagi perlintasan kapal-kapal asing dengan alasan kepentingan nasionalnya terganggu (hal tersebut dibolehkan oleh UNCLOS 1982), atau sekedar penutupan sementara untuk keperluan latihan militer misalnya, maka yang merugi adalah kelompok negara sebelah dan negara-negara yang memiliki kepentingan sangat tinggi dengan perairan Indonesia seperti Cina, Jepang, Australia, dll. Inilah geopolitic weapon atau senjata geopolitik yang hampir-hampir tak pernah diberdayakan oleh elit-elit negeri ini.

Sumber : Catatan Map



from Kopidev News Feed http://ift.tt/2a3VdsP
via IFTTT

Post a Comment

0 Comments

Close Menu